Langsung ke konten utama

Komplikasi Busana dalam Taraf Keimanan

"Don't look books by the cover"

Busana merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia setelah pangan dan papan. Busana telah dikenal manusia sejak zaman dahulu dan masih berkembang seiring dengan peradaban manusia. Dalam pesatnya perkembangan dunia, busana atau yang sering dikenal sebagai fashion menjadi sebuah kebutuhan khalayak ramai. Dari anak kecil sampai dewasa menggunakan busana untuk wadah ber-ekspresi. Pada awalnya busana berfungsi hanya untuk melindungi tubuh baik dari sinar matahari, cuaca ataupun dari gigitan serangga.
Tetapi seiring dengan maraknya topik perbedaan agama, budaya, dan suku menjadikan masyarakat memandang bahwa suatu taraf keimanan seseorang diukur dengan busana atau pakaian yang dipakai. Contoh jika ada yang memakai baju koko, pandangan masyarakat terhadapnya tidak lain tidak bukan adalah orang yang beriman. Padahal keimanan seseorang tidak ditentukan berdasarkan apa yang mereka pakai dan baju koko merupakan pemodifikasian produk negara lain yang belum tentu beriman. Tapi masyarakat memandang baju koko adalah hasil produk orang muslim.

Pada dasarnya Baju Koko berasal dari Cina. Menurut sejarawan JJ. Rizal, baju koko itu berasal dari baju tui-khim. Dan menurut James Danandjaja menyebutkan bahwa baju koko adalah pengaruh dari Tionghoa. Baju koko sudah jadi pakaian khas Betawi. Dalam kebudayaan Indonesia sekarang, secara umum baju koko diasosiasikan sebagai pakaian pria muslim. Baju koko umumnya dipakai pada saat Shalat Jumat, juga di hari-hari raya.

Taraf keimanan seseorang tidaklah bisa hanya dipandang dari busana yang dipakai, melainkan dengan tingkah laku dan amal yang baik. Yang menentukan taraf keimanan seseorang itu baik adalah Tuhan YME, bukan manusia yang masih terlumuri dosa.
Iman adalah percaya bahwa Tuhan yang menciptakan alam semesta dan seisi-nya. Keimanan berada didalam hati, dan bukan yang tampak dengan kasat mata seperti pakaian yang terpakai. Busana hanya sebagai media yang memberikan simbolitas untuk menutupi aurat atau memenuhi kesopansantunan dan dapat tampil serasi.

Busana atau fashion kini telah merambah dalam lingkup remaja yang selalu ingin meng-eksplore diri dalam penampilan. Tak ayal tampilan anak remaja kini semakin memprihatinkan, yang tidak mengutamakan unsur kesopanan. Dan ini semakin memperkuat perspektif seseorang terhadap busana merupakan cerminan taraf keimanan.
Argumentasi yang seperti itu haruslah dihapuskan karena belum tentu orang yang terlihat luarnya alim, dalamnya pun alim. Karena keimanan bersifat naik turun atau fluktuatif, maka kita patut bersikap yang konsisten dengan apa yang dilakukan dan ditampilkan agar seseorang tidak lagi memandang keimanan dari cover-nya, seperti quotes "Don't look books by the cover". Dalam unsur waktu dan tempat merupakan faktor bahwa busana bukan cerminan keimanan, melainkan situasi yang menjadikan seseorang terlihat sholeh, dan alim.

Setiap orang mempunyai hak untuk berpakaian, dan setiap individu mempunyai karakteristik berbusana sendiri-sendiri. Tapi disamping itu kita harus mengutamakan unsur etika dalam berbusana karena seperti pepatah "apa yang kamu pakai adalah cerminan dirimu sendiri". 

Masalah keimanan seringkali membuat persatuan NKRI tergoyah, jikalau diterka lebih dalam perbedaan itulah yang menyatukan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Jangan sampai kita terperosok dan terprofokasi akan hal-hal yang belum pasti kebenarannya. Karena di era digitalisme ini banyak berita-berita yang tidak tersaring dengan baik yang membuat suatu kelompok atau golongan terpecah-belah.





Created by Ulfatul Khabibah

Komentar